May 30, 2017

10 FILM YANG COCOK DITONTON SAAT NGABUBURIT SELAMA RAMADHAN


Jika kamu berada di halaman ini – serta berencana membaca tulisan sampai tuntas – itu berarti kemungkinan besar kamu tengah menjalani puasa Ramadhan, kebelet ingin nonton film, namun merasa khawatir tidak bisa memilih tontonan aman yang tidak mengundang hawa nafsu. Kalau betul demikian, maka ya, ini adalah tempat yang tempat. Cinetariz telah mengurasi rentetan judul yang hilir mudik di pikiran (sejauh ingatan bisa mengingat) untuk ditempatkan dalam daftar ini. Mengingat daftar disusun di kala bulan Ramadhan, tak pelak film-film yang terpilih pun mayoritas bernafaskan Islami. 

[Special] DAFTAR FILM BIOSKOP YANG DIRILIS SEPANJANG RAMADHAN 1438H


Ada yang berencana buat ngabuburit di bioskop pada bulan Ramadhan tahun ini dan khawatir tidak ada pilihan tontonan menarik? Tak perlu risau. Mengingat kali ini masa-masa berpuasa berlangsung bersamaan dengan musim panas di Amerika Utara, maka rentetan film dengan label ‘blockbuster’ siap menemanimu. Setidaknya ada tiga judul besar siap hadir memeriahkan bioskop tanah air sepanjang Ramadhan kali ini; Wonder Woman, The Mummy, serta Transformers: The Last Knight. Sedangkan Cars 3 yang rilis pada pertengahan Juni di negara asalnya, kemungkinan baru akan tayang pada bulan Agustus dan Despicable Me 3 direncanakan rilis di Indonesia pada bulan Juli berdasarkan informasi dari perwakilan United International Pictures Indonesia. 

May 28, 2017

REVIEW : PIRATES OF THE CARIBBEAN: SALAZAR'S REVENGE


“The dead have taken command of the sea. They're searching for a girl, a Pearl, and a Sparrow.” 

Ladies and gentleman, Jack Sparrow is back...!!! Setelah dibiarkan berhibernasi selama 6 tahun, salah satu franchise paling menguntungkan bagi Walt Disney, Pirates of the Caribbean, akhirnya dibangunkan dari tidur panjangnya. Mengingat raupan dollar dari franchise ini terbilang stabil, bahkan cenderung meningkat – instalmen keempat bertajuk On Stranger Tides sanggup menembus angka keramat $1 miliar dari peredaran seluruh dunia! – tentu tidak mengherankan jika pihak studio kekeuh memintanya berlayar sekalipun tiada lagi area tersisa untuk dijelajahi yang pada akhirnya menyebabkan tuturan terus berputar-putar di satu tempat. Repetitif. Memasuki jilid kelima yang diberi tajuk Salazar’s Revenge (atau Dead Men Tell No Tales di negara asalnya), tanya “apa lagi yang hendak dikedepankan sekali ini?” tentu tidak bisa terhindarkan. Agaknya belajar dari kesalahan On Stranger Tides yang kekurangan tenaga, duo sutradara Joachim Rønning dan Espen Sandberg (Kon Tiki) mencoba mengusung lagi semangat dari trilogi awal yang sempat pupus seraya merekrut kembali karakter kunci dari franchise ini; Will Turner (Orlando Bloom) beserta Elizabeth Swann (Keira Knightley), dengan harapan dapat mencegah franchise Pirates of the Caribbean ditenggelamkan oleh kritikus maupun penonton. 

May 23, 2017

REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE


“All these mistakes, my mistakes, and you had to pay for them.” 

Seperti halnya Last Shift yang sempat mampir di bioskop tanah air tahun lalu, nasib The Autopsy of Jane Doe bisa dibilang apes. Betapa tidak, mengingat jajaran pelakon utamanya bukanlah nama sembarangan, sang sutradara punya jejak rekam membanggakan dimana karya sebelumnya yakni Trollhunter disambut sangat hangat oleh para pecinta film horor dunia, dan premis usungannya terdengar menggoda, film ini tidak pernah memperoleh kesempatan untuk dipertontonkan secara luas. Selepas diperkenalkan pertama kali ke khalayak melalui Toronto International Film Festival, The Autopsy of Jane Doe lantas menyapa penikmat tontonan seram hanya melalui rilisan secara terbatas di bioskop, streaming platform, dan home video. Nyaris tiada terdengar gaungnya. Dugaan yang lantas muncul, apakah ini berarti film arahan André Øvredal tersebut mempunyai mutu kurang baik sampai-sampai pihak distributor emoh menggelontorkan dana besar untuk promosi dan perilisan? Tapi, (lagi-lagi) seperti halnya Last Shift, kualitas bukanlah alasan utama yang melatarbelakangi karena kenyataannya kedua judul ini – khususnya The Autopsy of Jane Doe – merupakan harta karun tersembunyi yang sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pecinta film horor. 

May 19, 2017

REVIEW : THE INVISIBLE GUEST (CONTRATIEMPO)


“Focus on the details. They’ve always been in front of our eyes, but you have to analyze them from a different perspective.” 

Terakhir kali dibuat terperangah oleh tontonan thriller yakni dua tahun silam tatkala menyimak film asal India yang dibintangi Ajay Devgan, Drishyam. Mengetengahkan topik pembicaraan utama mengenai “seberapa jauh yang bisa dilakukan orang tua untuk menyelamatkan keluarganya”, film tersebut berhasil menjerat atensi sedari awal mula dengan tuturan berintensitas tinggi yang tergelar rapi dan pada akhirnya bikin geleng-geleng kepala saking kagumnya terhadap kapabilitas si pembuat film dalam mengkreasi suguhan mencekam sarat kejutan ini. Kepuasan tiada tara yang diperoleh usai menyimak Drishyam, lantas menimbulkan ekspektasi tinggi kepada gelaran sejenis yang muncul selepasnya. Tak ada satupun yang mampu menandingi apalagi melampaui sepanjang tahun 2016 sampai kemudian sutradara dari Spanyol, Oriol Paulo (The Body), mempersembahkan karya terbarunya yang amat mencengkram dan merupakan perwujudan dari gugatannya terkait keberpihakan hukum kepada manusia-manusia kaya bertajuk The Invisible Guest (atau dalam judul asli, Contratiempo) di kuartal pertama 2017. Jika Drishyam menaruh fokus penceritaan pada upaya seorang ayah dalam menjauhkan sang putri dari jeratan hukum, maka The Invisible Guest berkutat pada upaya seorang pria kaya dalam menyelamatkan dirinya sendiri berbekal kekuasaan yang dipunyainya. 

May 14, 2017

REVIEW : CRITICAL ELEVEN


“I’ve burned my bridges. There’s no turning back. There’s only going forward, with you.” 

Apabila kamu rajin berselancar di dunia maya, komentar yang-kini-telah-amat-sangat-menjemukan untuk didengar, “Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi,” rasa-rasanya kerap dijumpai. Entah kamu menggemari Reza Rahadian atau justru tergabung dengan para netizen yang memandangnya sinis, sulit untuk menampik bahwa aktor penggenggam empat Piala Citra dari kategori akting ini merupakan salah satu pelakon terbaik yang dimiliki oleh perfilman Indonesia. Dia senantiasa memberi effort lebih untuk peran-peran yang dimainkannya sekalipun sebatas peran kecil atau malah sekadar numpang lewat. Energi positif yang dibawa Reza pun umumnya turut menular ke film maupun lawan mainnya sehingga tidak mengherankan namanya menjadi komoditi panas di kalangan para produser. Tiga lawan main yang ‘naik kelas’ seusai dipasangkan dengannya antara lain Bunga Citra Lestari, Acha Septriasa, serta Adinia Wirasti. Bersama nama terakhir, Reza telah tiga kali tandem. Uji coba pertama di film omnibus Jakarta Maghrib (segmen “Jalan Pintas”) dilalui dengan mulus yang membawa keduanya dipertemukan sekali lagi di Kapan Kawin?. Chemistry kuat nan memancar diantara duo Reza-Adinia dalam film komedi romantis tersebut membuat mereka lantas dipercaya untuk menghidupkan karakter bernama Ale dan Anya dalam gelaran romansa dewasa yang diekranisasi dari novel metropop laris manis rekaan Ika Natassa, Critical Eleven. Sebuah peran yang kian menguatkan pernyataan bahwa Reza dan Adinia adalah dua pelakon jempolan di tanah air saat ini.  

May 9, 2017

REVIEW : A SILENT VOICE


Didasarkan pada manga bergenre slice of life berbumbu romansa rekaan Yoshitoki Oima, A Silent Voice (Koe no Katachi) menjual dirinya sebagai film romansa untuk segmen young adult. Yang terbersit pertama di pikiran, film ini mungkin akan semanis dan semengharu biru Your Name yang telah berkontribusi dalam menetapkan standar tinggi bagi film anime asal Jepang. Mengingat materi promosinya memunculkan kesan demikian, tentu ekspektasi khalayak ramai tersebut tidak bisa disalahkan. Satu hal perlu diluruskan, A Silent Voice gubahan sutradara perempuan Naoko Yamada (K-On!) ini tidak semata-mata mengedepankan kisah kasih sepasang remaja sebagai jualan utamanya. Malahan sebenarnya, percintaan bukanlah bahan pokok buat dikulik. Topik pembahasan yang dikedepankan oleh A Silent Voice justru terbilang sensitif meliputi perundungan, kecemasan sosial, sampai bunuh diri berlatar dunia sekolah. Ya, ketimbang Your Name, A Silent Voice justru lebih dekat dengan film rilisan tahun 2010, Colorful, yang mengapungkan materi kurang lebih senada hanya saja tanpa mencelupkan elemen fantasi dan lebih realistis dalam bertutur. 
Mobile Edition
By Blogger Touch