January 20, 2015

REVIEW : DI BALIK 98


“Kamu kenapa sih suka gitu? Gak ngomong, gak pamit, main pergi aja ninggalin aku.” 

Lukman Sardi membuktikan keseriusannya dalam menekuni bidang penyutradaraan. Melalui film panjang perdananya bertajuk Di Balik 98 ini, dia tidak ragu-ragu mengilas balik ke salah satu jejak terkelam yang pernah ditorehkan pada catatan sejarah bangsa Indonesia, yakni Kerusuhan Mei 1998. Seperti kita sama-sama tahu, badai perekonomian maha dahsyat menerpa negara ini (pula Asia) yang dampaknya menyebabkan krisis finansial dan lonjakan harga-harga kebutuhan pokok yang tidak berkeprimanusiaan. Dihimpit oleh keadaan semacam ini, hati rakyat pun menjerit hingga para mahasiswa pun memutuskan turun ke jalan, mengobarkan semangat reformasi, dengan tujuan akhir menggulingkan rezim Soeharto yang telah menduduki tahta tertinggi pemerintahan selama 32 tahun dan dianggap memiliki peranan besar dalam mengacaukan kondisi perekonomian kala itu. Perjuangan para generasi muda untuk menegakkan kebenaran ini mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti yang berlanjut pada terperciknya kerusuhan di berbagai penjuru dengan sasaran utama etnis Tionghoa. 

Topik obrolan yang dikemukakan oleh Di Balik 98 jelas seksi. Menggoda rasa ingin tahu yang tersemayam di benak penonton untuk mengetahui kronologi sesungguhnya – atau rahasia yang selama ini ditutup-tutupi pihak berkepentingan – dari peristiwa memilukan ini. Terlebih, dengan pemakaian judul semacam Di Balik 98 seolah mengisyaratkan bahwa si pembuat film tidak saja berkenan mengenang tragedi yang berlangsung sepanjang awal Mei 1998 tersebut tetapi juga telah siap mengungkapkan kebenaran tersembunyi di balik upaya penancapan reformasi. Jikalau ada penonton yang menempatkan ekspektasinya seperti itu, sebetulnya sih, tidak keliru. Akan tetapi, Di Balik 98 – sayang beribu sayang – tidak memiliki niatan untuk membongkar rahasia melainkan sekadar ingin menuturkan kisah tentang sejumlah tokoh fiktif (dan nyata) yang mewakili beberapa pihak dalam pandangan sekaligus keterlibatannya terhadap Kerusuhan Mei 1998. Tampaknya, Lukman Sardi beserta duo peracik skrip, Samsul Hadi dan Ifan Ismail, memiliki pemaknaan lain terhadap penggunaan judul. 

Di Balik 98 membagi penceritaan yang harus diikuti penonton menjadi empat cabang. Pertama, diniatkan pula sebagai fokus utama, mewakili keluarga kelas menengah yang, ndilalah, berada di kubu berseberangan. Diana (Chelsea Islan) bergabung bersama aktivis lain melakukan demonstrasi berkepanjangan demi mencapai reformasi, sementara kakak iparnya, Bagus (Donny Alamsyah), adalah tentara yang dituntut menjaga suasana tetap kondusif sehingga silang pendapat antara keduanya kerap kali terjadi. Menjadi penengah diantara mereka adalah istri Bagus, Salma (Ririn Ekawati), pegawai istana Negara yang tengah hamil besar. Kedua, melihat dari perspektif etnis Tionghoa lewat tokoh bernama Daniel (Boy William), kekasih Diana. Mulanya Daniel ikut memperjuangkan perubahan bersama Diana, namun prioritasnya seketika berubah setelah keluarganya hilang di tengah-tengah kerusuhan. Ketiga, dari kacamata wong cilik hadirlah bapak-anak pemulung (Teuku Rifnu Wikana dan Bima Azriel) yang terjebak dalam kondisi serba tidak menguntungkan meski tidak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan keempat, kita memasuki Istana Negara untuk menemui Presiden Soeharto (Amoroso Katamsi) beserta sederet tokoh politik yang berkontribusi terhadap kekacauan masif ini. 

Sejatinya sama sekali tidak masalah apabila Lukman Sardi enggan mengulik lebih jauh perihal kebenaran tersembunyi dari tragedi ini – lagipula, butuh lebih dari sekadar keberanian untuk memaparkan hal itu – dan sekadar memanfaatkan Kerusuhan Mei 1998 sebagai latar belakang dari guliran cerita berbentuk drama keluarga (boleh juga menyebutnya drama kemanusiaan, meski di sini terasa kurang tepat). Ini bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Perkara utama dari Di Balik 98 adalah terlalu banyaknya konflik yang ingin dikedepankan dalam rentang durasi singkat sehingga masing-masing cerita serasa tak matang lantaran kurang dieksplor lebih mendalam. Jangankan bapak-anak pemulung yang di pertengahan film posisinya mulai mengabur, Diana yang notabene tokoh utama pun tidak memiliki posisi kuat di sini. Setelah cabang-cabang cerita lain memasuki arena dan mencoba lebih ditonjolkan, pada saat itulah cengkraman konflik Diana-Bagus-Salma mengendur. Dengan sebanyak ini persoalan yang ingin mencuri perhatian, penonton pun kehilangan fokus. Sulit berempati pada tokoh-tokoh tertentu saking lemahnya bangunan karakterisasi dan penceritaan yang berlangsung datar nyaris tanpa emosi. Hal ini masih belum ditambah keinginan si pembuat film menyeimbangkan sisi fiktif dan fakta – dengan muatan politis kental – yang membuat segalanya makin penuh sesak. Seandainya tuturan Di Balik 98 hanya difokuskan pada Diana dan orang-orang di sekitarnya (Bagus, Salma, dan Daniel), hasilnya mungkin akan lebih mengena. 

Pun demikian, terlepas dari naskah yang tampak kebingungan dalam menentukan pijakan, Di Balik 98 masih tampil mengesankan di sektor tata produksi dan departemen akting. Walau ada beberapa ‘kecolongan’ disana-sini (ehem, poster bioskopnya digital printing!) tapi terpancar keseriusan dalam merekontruksi ulang tragedi 1998 – penggambaran demonstrasi, penjarahan, kobaran hasil kerusuhan – lengkap beserta pernak-perniknya, termasuk keterlibatan sejumlah panser, sehingga presentasinya tampak cukup meyakinkan. Sedangkan untuk jajaran pemain, harus diakui diarahkan sangat baik oleh Lukman Sardi – mengingat background sang sutradara – dengan rata-rata pelakon menyuguhkan performa yang tidak mengecewakan cenderung bertenaga. Kendati Chelsea Islan terlalu berapi-api di beberapa adegan, setidaknya Donny Alamsyah, Ririn Ekawati, dan Teuku Rifnu Wikana mampu meredakannya terutama duo Donny-Ririn yang berhasil menyuntikkan sedikit emosi di tengah-tengah terbatasnya ruang gerak yang disediakan oleh skrip bagi keduanya. Perpaduan serba baik dari ketiga sektor inilah yang menghidupkan Di Balik 98 sekaligus menjadikannya sebagai landasan karir penyutradaraan yang manis bagi Lukman Sardi.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch