“Ideals are peaceful. History is violent.”
Tersusun atas setumpuk kisah menarik dengan sudut-sudut yang belum sepenuhnya tereksplorasi, tidak mengherankan apabila Perang Dunia II menjadi salah satu topik perbincangan yang digemari oleh para sineas perfilman dunia. Bukan sebatas disukai di kalangan Blok Sekutu, tetapi merembet pula ke Blok Poros. Setiap tahun, kamu akan menjumpai film yang meletakkan perang akbar ini sebagai landasan utama untuk bertutur dengan kualitas yang beraneka ragam. Walau banyak pula yang tergarap secara baik, akan tetapi Steven Spielberg telah menetapkan standar tinggi untuk ‘war movies’ bersetting Perang Dunia II lewat Saving Private Ryan dua dekade silam sehingga film apapun dari genre ini yang terlahir paska 1998 tidak cukup sekadar berada di tingkatan ‘baik’ melainkan kudu mencapai ‘hebat’. Usai serangkaian rilisan yang timbul tenggelam – bahkan seringkali berlalu begitu saja – dalam beberapa tahun terakhir, David Ayer (U-571, End of Watch) dengan segala keambisiusannya melontarkan Fury yang diharapkan mampu menumbuhkan kembali semangat bagi war movies. Mampukah?