April 30, 2012

REVIEW : MODUS ANOMALI


Modus Anomali adalah film keempat dari sutradara muda berbakat, Joko Anwar, yang telah dinanti-nantikan kehadirannya sejak lama. Setelah menuntaskan Pintu Terlarang, Joko Anwar rehat sejenak dari kursi sutradara dan memilih untuk fokus pada penulisan naskah serta akting. Tiga tahun berselang sejak film terakhir, saya dibuat penasaran dengan kegilaan apa lagi yang akan digeber oleh sutradara jenius ini. Dua film sebelumnya, Kala dan Pintu Terlarang, terbilang luar biasa untuk ukuran film lokal. Di saat saya mulai kehilangan harapan terhadap perfilman nasional yang temanya berjalan di tempat, seorang juru selamat bernama Joko Anwar muncul ke permukaan. Sekalipun masyarakat Indonesia menanggapi karya-karyanya dengan dingin (sungguh mengecewakan!), sejumlah kritikus film dunia memberinya puja puji setinggi langit. Dan dia memang layak mendapatkannya. Film terbarunya, Modus Anomali bahkan mendapat kehormatan untuk diputar pertama kalinya di SXSW Festival bulan lalu bersama dengan The Raid sebelum rilis secara luas di bioskop. Komentarnya beragam, mayoritas menanggapi dengan positif. 

Kunci untuk menikmati film-film buatan Joko Anwar sesungguhnya sangat sederhana, konsentrasi. Dia tidak akan membiarkan Anda kebingungan, meraba-raba dalam kegelapan tanpa adanya penerangan sedikit pun. Jika Anda jeli dan cermat, maka segalanya akan terasa menyenangkan. Itulah yang harus Anda terapkan tatkala menyaksikan Modus Anomali. Dibandingkan Kala maupun Pintu Terlarang, Modus Anomali cenderung lebih rapi dalam penceritaan, lebih tenang dan tidak senjelimet kedua film tersebut. Bahkan apabila petunjuk-petunjuk yang berceceran di sepanjang jalan setapak Anda perhatikan dengan seksama, maka misteri yang melingkupi Modus Anomali akan dengan mudah dipecahkan. Bukankah sangat menyenangkan menyaksikan sebuah film dimana sepanjang perjalanan Anda senantiasa dilingkupi rasa penasaran serta diajak untuk menerka-nerka apa yang sesungguhnya terjadi? Bagi sebagian orang mungkin hal ini terasa terlalu memusingkan, terutama para pencari hiburan murni, namun bagi sebagian yang lain ini adalah seni dari menonton sebuah film. 

Sebuah tangan manusia menyeruak ke atas permukaan tanah diiringi dengan sengalan nafas dari seorang pria, diperankan dengan sangat cemerlang oleh Rio Dewanto, mengawali film yang membuat saya terlompat dari kursi bioskop. Dalam kondisi panik, dia segera menekan angka 112 di telepon genggamnya dan membuat panggilan. Beberapa detik setelah mendapatkan jawaban, pria tersebut tersadar... dia tidak ingat dengan namanya! Satu-satunya petunjuk adalah sebuah kartu identitas atas nama John Evans. Apakah benar nama pria tersebut sesungguhnya adalah John Evans? Memulai film dengan sedikit lambat, Joko Anwar ingin Anda memersiapkan jantung serta otak terlebih dahulu karena di menit-menit berikutnya Anda akan diajak untuk senam jantung dan senam otak secara bersamaan. Pemanasan terlebih dahulu sebelum memulai lari maraton. Dalam keadaan panik, Rio Dewanto mencari perlindungan. Dia memasuki sebuah kabin. Di dalam kabin tersebut, dia mendapati sebuah video yang berisi pembunuhan terhadap seorang wanita yang tengah hamil tua (Hannah Al Rasyid). 

Sampai disini, saya memutuskan untuk berhenti menceritakan apa yang terjadi selanjutnya. Susah untuk tidak spoiler saat menceritakan kembali jalan cerita dari Modus Anomali. Anda harus menyaksikannya sendiri untuk mengetahui ide liar apalagi yang dituangkan oleh Joko Anwar. Sekalipun Modus Anomali lebih sederhana dalam bertutur, gambar dan dialog dalam film ini tak sesederhana kelihatannya. Sepanjang 88 menit, Anda tidak hanya diminta melihat dan mendengar saja, tetapi juga memaknai. Apa yang sesungguhnya terjadi kepada pria tersebut? Mengapa dia bisa berakhir dengan terkubur hidup-hidup di awal film? Dan apa kaitannya pria ini dengan wanita hamil yang dihabisi tanpa ampun di kabin? Ketiga pertanyaan inilah yang minimal harus Anda pegang untuk memecahkan kasus pembunuhan di tengah hutan. Tidak terlalu susah untuk mencerna endingnya karena Joko Anwar menjelaskannya dengan cukup gamblang, tentunya dengan catatan Anda konsentrasi dalam menyusun kepingan-kepingan puzzle yang disebar sepanjang film. Dan, Joko beruntung mempunyai Gunnar Nimpuno yang tahu betul apa keinginan dari sang sutradara. Selain menyajikan gambar-gambar indah dengan seribu makna, pergerakan kameranya dinamis serta penggunaan long take yang rumit menjadi daya tarik tersendiri. Sekalipun Modus Anomali bukanlah karya terbaik dari seorang Joko Anwar, film ini jelas merupakan film lokal terunggul ditilik dari berbagai seri untuk kuartal pertama tahun 2012. Apabila Anda adalah penggemar berat film misteri serta haus akan film buatan dalam negeri yang berkualitas, maka Modus Anomali tidak seharusnya Anda lewatkan begitu saja.

Exceeds Expectations


April 28, 2012

REVIEW : ACT OF VALOUR



“Oh, Amerika. Tentara kalian sangat perkasa, jumawa, tak terkalahkan”. Demikianlah ekspresi kekaguman yang diharapkan meluncur dari mulut penonton usai menyaksikan aksi heroik para tentara Amerika Serikat dalam sebuah film. Saat Hollywood menampilkan tentara Amerika Serikat dalam film buatan mereka, hampir dapat dipastikan Anda telah bisa menebak apa yang akan digulirkan beberapa jam ke depan. Aksi terorisme disulut oleh seseorang (atau sekelompok orang) dari musuh abadi Amerika – negara-negara di kawasan Timur Tengah, Eropa Timur, Kuba, Vietnam, Korea Utara -, sang pahlawan dengan pakaian seragam kebangaannya pun memerlihatkan batang hidungnya, kedua belah pihak saling bertarung dengan sengit, dan voilaaaa... sang pahlawan memenangkan pertarungan, dunia pun berhasil diselamatkan. Yang lebih unik lagi, para pembela keamanan negeri adidaya ini pun kerap digambarkan melawan makhluk asing yang dilengkapi dengan persenjataan maha canggih serta kemampuan intelegensia yang maju tanpa kesulitan berarti. Yah, jangankan Alien yang nyata-nyata adalah reka imajinasi penulis naskah belaka, Hollywood saja berani ‘memalsukan’ sejarah dengan memenangkan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Intinya sih, siapapun lawannya, pemenangnya tetap Amerika Serikat. 

Duo Mike McCoy dan Scott Waugh mencoba memamerkan kekuatan tentara mereka melalui Act of Valour yang selama proses pembuatannya mendapatkan dukungan penuh dari pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat. Bahkan, pemeran utamanya merupakan anggota aktif dari pasukan ini dengan nama asli mereka dirahasiakan dari khalayak ramai. Belum apa-apa, Act of Valour telah tercium sebagai alat propaganda pemerintah Amerika Serikat untuk menjustifikasi tindakan brutal yang mereka lakukan terhadap negara atau masyarakat dari negara lain. Sesuatu yang tidak mengherankan memang mengingat mayoritas film bertema kepahlawanan buatan Hollywood dimaksudkan menjadi demikian. Yang sedikit membedakan Act of Valour dengan film sejenis adalah usahanya untuk tampil realistis dengan memakai pelaku asli serta kisah yang ‘denger-denger sih’ diangkat dari peristiwa nyata. Akan tetapi, setelah sejumlah penyelewengan yang dilakukan oleh mereka (baca: Hollywood) selama ini, apakah Anda masih percaya bahwa film ini sepenuhnya patuh kepada peristiwa asli? 

Act of Valour mengikuti sepak terjang dari pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat dalam upaya mereka untuk meringkus dua penjahat kelas kakap yang telah lama menjadi buronan, Mikhail ‘Christo’ Troykovich (Alex Veadov) dan Abu Shabal (Jason Cottle). Christo yang merupakan penyulundup obat-obat terlarang dari Rusia memerintahkan bawahannya untuk menghabisi dua agen CIA yang telah lama mengikutinya. Salah satu agen yang dibiarkan hidup, Morales (Roselyn Sanchez), diculik dan disiksa habis-habisan. Peristiwa inilah yang kemudian membuat pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat turun tangan. Misi mereka adalah menyelamatkan Morales. Mike McCoy dan Scott Waugh tentu tak membiarkan para pahlawan kebanggaan negara ini menjalankan misi dengan mudah. Setelah Morales berhasil diselamatkan, pasukan ini dihadapkan pada permasalahan lain. Christo rupanya telah menjalin kerjasama dengan Abu Shabal, pemimpin kelompok teroris yang tengah merencanakan untuk menebar teror di berbagai kota besar di Amerika Serikat. Keamanan dan stabilitas negara pun terancam. 

Yang membuat Act of Valour cukup layak untuk ditonton adalah cara presentasi McCoy dan Waugh yang unik. Pergerakan kameranya dinamis. Sejumlah adegan diwujudkan layaknya sebuah permainan video game. Cerdik, seru, tetapi juga memusingkan. Apabila Anda menonton film ini memang hanya untuk sekadar mencari hiburan, agaknya harapan Anda akan terpenuhi. Adegan aksinya, sekalipun tidak spektakuler, mampu memompa adrenalin. Tidak mengherankan karena memang ini menjadi jualan utamanya sekaligus untuk menutupi naskahnya yang teramat dangkal. Kedangkalan naskahnya membuat penonton kesulitan untuk berempati kepada apa yang menimpa sejumlah tokoh terlebih sejak awal informasi mengenai latar belakang para tokoh utama hanya dibeberkan selewat saja. Hingga film berakhir, saya tidak mengenal satu pun dari para pahlawan, dan saya pun tidak peduli. Agaknya tujuan McCoy dan Waugh untuk menjadikan ini sebagai promosi tersebulung Angkatan Laut Amerika Serikat membuat mereka merasa tidak perlu untuk bersusah payah menggarap naskah karena toh pada akhirnya Act of Valour hanya dijadikan sebagai video rekrutmen militer. Apabila alur cerita kelewat kompleks, maka tujuan awal bisa jadi gagal terpenuhi. McCoy dan Waugh hanya ingin Anda terhibur seraya memuji kehebatan aksi Pasukan Pengamanan Negara di akhir film. Sesederhana itu. 

Poor 

 

April 24, 2012

REVIEW : TITANIC 3D



"I'm the king of the world!" - Jack

Apa menariknya menonton sebuah film yang kita sudah hafal jalan ceritanya di luar kepala, dapat mengaksesnya secara gratis melalui televisi setiap tahunnya dan sudah kadaluarsa sejak belasan tahun yang lalu? Well, Anda salah besar jika menganggap Titanic tidak lagi sedap untuk disaksikan di layar lebar sekalipun kali ini dirilis dalam format 3D. Dirilis ulang dalam rangka memperingati 100 tahun tenggelamnya Titanic pada 15 April 1912, film buatan James Cameron ini tetap terlihat menawan dan luar biasa. Tidak mengherankan jika dahulu kakak saya menyaksikan film ini berulang kali di bioskop, dan selalu ‘full house’ di setiap pertunjukkannya hingga mampu bertahan lebih dari setengah tahun. Padahal, durasi filmnya sendiri mencapai 194 menit, bukan waktu yang singkat tentu saja. Keahlian Opa Jimmy dalam menggabungkan sejarah dengan fiksi yang dibalut dalam kisah mengenai percintaan beda kelas sosial, keserakahan dan kesombongan manusia, menjadikan Titanic sebagai sebuah film yang dicintai oleh jutaan umat manusia. Resepnya sederhana, namun penanganannya tepat. 

Titanic menyoroti perjalanan pertama dan terakhir dari RMS Titanic yang disebut-sebut sebagai ‘Kapal Yang Tidak Bisa Tenggelam’ dari Inggris menuju Amerika yang dimulai pada 10 April 1912. Tak akan merebut hati para pecinta film di dunia apabila selama 3 jam Cameron patuh sepenuhnya kepada sejarah. Oleh karena itu, diciptakanlah dua karakter fiktif yang nantinya menjadi salah satu pasangan paling diidolakan dalam sejarah film, Jack Dawson (Leonardo DiCaprio) dan Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet). Jack adalah remaja miskin yang beruntung bisa berlayar bersama Titanic setelah menang dalam sebuah permainan Poker di detik-detik terakhir keberangkatan Titanic, sementara Rose adalah perempuan yang kelas sosialnya jauh di atas Jack. Yang menjadikannya menarik, baik Jack dan Rose digambarkan sebagai karakter yang manusiawi nan loveable. Rasanya sulit untuk tidak jatuh cinta dengan pasangan ini. Chemistry yang terjalin antara Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet pun sungguh meyakinkan. Tidak mengherankan apabila penonton betah duduk di kursinya selama lebih dari 3 jam untuk menyaksikan petualangan cinta antara dua insan manusia yang terhalang oleh sebuah tembok besar, yakni perbedaan kelas sosial.

Berasal dari dunia yang berbeda, cinta antara Jack dan Rose tidak begitu saja bersemi dengan indahnya. Rose telah memiliki tunangan, Cal (Billy Zane), yang arogan serta menghalalkan segala cara demi memertahankan Rose di sisinya. Sang ibu, Ruth (Frances Fisher), pun tidak memberikan restu. James Cameron membubuhkan ideologi Marxisme dalam urusan silang sengkarut antara Cal yang berasal dari kelas borjuis dan Jack yang mewakili kelas ploretar. Namun pada dasarnya, inilah yang merupakan inti dari film secara keseluruhan, bahwa uang adalah Tuhan. Penumpang Titanic pun dibedakan berdasarkan strata sosial, dengan masyarakat ploretar yang menempati dek bagian bawah yang sempit sedangkan masyarakat borjuis menikmati kemewahan yang berlimpah ruah dengan kamar serta koridor yang luas di dek bagian atas. Harapan untuk hidup ketika kapal tenggelam kecil. Akan tetapi, di balik semua perlakuan tidak menyenangkan yang didapat, mereka sanggup menikmati hidup dengan apa adanya. Mencomot topik yang tengah populer saat ini di Twitter, bahagia itu sederhana. Hal yang sama nyatanya tidak terjadi kepada masyarakat borjuis. Sejauh mata memandang, kebahagiaan yang terpancarkan dalam diri mereka tak lebih dari sebuah kepalsuan, topeng atau tameng yang digunakan untuk melindungi kerapuhan diri. Rose mencoba untuk berontak, dia ingin lepas dari belenggu kemunafikan. Jack adalah jalan keluar terbaik. Sayangnya, sekalipun sesungguhnya menderita, Ruth menghalangi jalan Rose. Dia tidak ingin kehilangan hartanya.

Setelah dilenakan dalam romantisme berbumbu pertikaian kelas yang penuh dinamika yang berlangsung lebih dari separuh durasi film, James Cameron menggiring kita pada sebuah pertunjukkan yang tak dapat dielakkan lagi merupakan salah satu yang terhebat dalam sejarah disaster movie. Kekuatan yang datang dari akting para pemain, naskah, editing, sinematografi serta art direction turut disokong oleh efek khusus yang mengagumkan. Karamnya Titanic ditampilkan secara detil, perlahan tapi pasti, sehingga mampu membuat penonton diliputi rasa was-was, pilu, tercekam dan kagum sekaligus. 1500 orang lebih harus merelakan nyawa mereka akibat kesombongan yang dilakukan oleh segelintir pihak. Iringan musik dari James Horner yang terus menghantui pikiran saya hingga sekarang mampu menciptakan suasana yang dramatis serta membuat emosi kian bergejolak. James Cameron pun tidak main-main perihal konversi Titanic ke dalam bentuk 3D. Menghabiskan waktu hingga 60 minggu dengan bujet $18 juta, Titanic memiliki hasil konversi 3D terbaik yang pernah ada. Saya awalnya sempat skeptis dengan hal ini, “ah, paling-paling 3D yang berasa cuma waktu kapalnya mau tenggelam.” Namun ternyata saya salah. Kedalamannya begitu jelas sehingga penonton terasa menjadi bagian dari penumpang Titanic. Titanic 3D memberikan sebuah pengalaman menonton yang tak terlupakan di bioskop. Jika Anda belum pernah menyaksikan Titanic di bioskop, maka inilah saatnya. Dan jika Anda dulu telah berulang kali menontonnya di bioskop, maka tontonlah sekali lagi. Titanic 3D sangat memuaskan.

Outstanding 


April 17, 2012

REVIEW : BATTLESHIP


Transformers di air. Itulah kesan pertama yang didapat sesaat setelah menyaksikan trailernya kala diputar beberapa saat sebelum Hugo dimulai. Dan, kesan pertama tak pernah salah. Ketika mengetahui bahwa film ini akan memiliki premis yang kurang lebih sama dengan film robot tersebut, ditambah kenyataan bahwa Battleship berangkat dari permainan sederhana buatan Hasbro, maka menaruh harapan yang setinggi langit tidak akan memberikan kepuasan apapun. Menurut Paul dalam artikelnya yang berjudul “How to Determine Bad Movie From a Good One”, film yang diangkat dari sebuah permainan cenderung lemah dalam naskah karena tidak mempunyai materi dasar yang mencukupi. Maka satu-satunya cara untuk menikmati Battleship adalah dengan membuang semua logika dan menikmati saja apa yang tersaji di layar tanpa memedulikan alur ceritanya yang sudah barang tentu setipis kertas. Saat Anda berhasil menikmatinya, saya ucapkan selamat. Apabila tidak, maka silahkan bergabung dengan saya di kedai kopi terdekat dan membicarakan film lain.

Paruh pertama dari film buatan Peter Berg ini adalah saat-saat paling menyiksa. Kita diperkenalkan dengan sang tokoh utama, Alex Hopper (Taylor Kitsch), yang tentu saja merupakan seorang pecundang yang sama sekali tidak bisa diandalkan. Dia menaruh hati kepada Samantha (Brooklyn Decker), seorang terapis fisik sekaligus putri kesayangan dari perwira tinggi di angkatan laut, Vice Admiral Shane (Liam Neeson). Adegan pembuka film ini sedikit banyak mengingatkan saya pada Star Trek versi J.J. Abrams. Perkenalan Alex dengan Sam bermula di sebuah bar. Tidak mengetahui apapun mengenai gadis ini, Alex merasa perlu mencuri hati si gadis, dengan cara mencuri burrito di minimarket. Dibuka dengan adegan yang niatnya ingin menjadi lucu namun garing, Battleship lalu berubah haluan secara cepat tatkala saudara Alex, Stone (Alexander Skarsgard), jengah melihat kelakuan Alex yang kekanak-kanakan. Stone memaksa adiknya untuk bergabung dengan angkatan laut. Mulai dari sini, tanpa perlu memiliki bola kristal atau kemampuan untuk meramal, apa yang terjadi berikutnya sudah dapat ditebak dengan mudah.

Alex kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di angkatan laut yang berbeda jauh dengan kebiasaannya sehari-hari. Pasukan Alien yang datang dari sebuah planet yang memiliki kemiripan dengan bumi (Sebentar, saya tidak sedang menonton Melancholia atau Another Earth, kan?) dengan tujuan yang tidak dipedulikan oleh siapapun, menginvasi bumi. Sekali lagi, mereka menjadikan Amerika sebagai pusat pendaratan. Kali ini bukan di Washington DC, melainkan berpindah ke Kepulauan Hawaii. Seperti halnya yang sudah-sudah, di balik segala serangan maut yang dilancarkan, Alien ini sesungguhnya punya misi yang mulia. Dia membantu seorang anak Adam untuk menemukan jati dirinya, mendewasakan diri, dan menyelamatkan jutaan umat manusia. Untuk mencapainya, maka seseorang yang disayangi namun tidak mempunyai peranan penting untuk film harus dimusnahkan terlebih dahulu. Tentunya sekaligus untuk menambah efek dramatis. Ucapkan selamat tinggal kepada Alexander Skarsgard. Lebih cepat dia pergi, semakin baik bagi dia. Setidaknya penonton tidak akan terlalu mengingat akting buruknya.

Supaya film tidak terlalu tegang dan membosankan (sayangnya sudah terlanjur terjadi sejak menit pertama. Boring!), maka Peter Berg menambahkan dua tokoh yang difungsikan sebagai pencair suasana. Perkenalkan, Ordy (Jesse Plemons) dan Cal (Hamish Linklater), tokoh dengan skill yang mumpuni dan otak yang cemerlang, namun senantiasa bertindak bodoh nyaris sepanjang film. Kenapa pancingan gelak tawa harus selalu berasal dari tokoh yang bertingkah laku bodoh? Bagi saya, mereka tidak lucu, lebih tepat disebut menyebalkan. Nyaris saja menyamai duo robot menjengkelkan, Wheelie dan Brains, dari Transformers: Revenge of the Fallen seandainya Raikes (Rihanna) tidak datang untuk ‘menyelamatkan’. Saya secara sukarela menawarkan diri untuk membantu siapapun yang memiliki niatan mengampanyekan Rihanna di Razzie Awards tahun depan. Dia sangat pantas setidaknya untuk mengantongi satu nominasi. Memasuki paruh kedua, Battleship bergerak sedikit lebih baik. Pertempuran antara kapal tempur milik Amerika Serikat dengan Alien berlangsung intens. Lumayan mengobati kekecewaan lantaran uang dan waktu yang terbuang percuma menyaksikan pertunjukkan yang membosankan dalam satu jam pertama. Kebahagiaan ini sayangnya berlangsung hanya sekejap saja. Peter Berg kalah telak dari James Cameron dalam urusan bagaimana cara menampilkan adegan kapal tenggelam secara epik. Battleship tak ada apa-apanya disandingkan dengan Titanic, yang notabene dibuat 15 tahun lalu. Belum lagi cara melumpuhkan Alien yang ternyata sebelas dua belas dengan ending Signs dan War of the Worlds yang menggelikan itu. Blah. Dengan hanya mengandalkan efek khusus yang jor-joran seperti ini, dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun mendatang, Battleship akan segera terlupakan. Transformers jilid pertama pun masih jauh lebih menyenangkan untuk ditonton ketimbang Battleship.

Poor

April 12, 2012

REVIEW : THE WOMAN IN BLACK


"Don't go chasing shadows, Arthur." - Daily

The Woman in Black memiliki nyaris semua formula yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah film horor yang menyeramkan; desa terpencil, penduduk yang bertingkah laku aneh, hantu anak kecil, matahari yang malu-malu menampakan wajahnya, dan tentu saja sebuah mansion tua yang terlantar. Apabila semua hal ini berhasil dipenuhi, maka James Watkins tidak perlu bersusah payah lagi membuat penonton merasa tidak aman di dalam bioskop. Dengan naskah yang digarap cermat oleh Jane Goldman, The Woman in Black cukup berhasil membuat bulu kuduk berdiri selama nyaris 85 menit. Di kala genre horor disesaki dengan tema kesurupan yang dikemas dalam bentuk found footage, Watkins justru kembali ke cara yang klasik. Hantu-hantu gigih yang tidak kenal lelah dalam menghantui menjadi akar permasalahan utama. Tenang saja, The Woman in Black bukanlah sebuah studi karakter, melainkan film horor murni dengan alur yang tenang namun secara efektif sanggup menebar kengerian tanpa terlalu menonjolkan si hantu.

Setelah menyelesaikan misinya dalam mengalahkan Pangeran Kegelapan, Daniel Radcliffe rupanya tidak melanjutkan mimpinya untuk menjadi Auror di Kementrian Sihir, melainkan memilih untuk bekeluarga dan bekerja sebagai pengacara. Radcliffe adalah Arthur Kipps, seorang pengacara di era Victoria yang mendadak menjadi single parent setelah istrinya meninggal tatkala melahirkan anak pertama mereka. Empat tahun berselang, Kipps terbentur dengan masalah finansial. Firma tempatnya bekerja tidak membuat segalanya menjadi lebih baik. Kipps dikirim ke sebuah desa di utara, Crythin Gifford, guna menyelesaikan urusan kliennya yang telah tiada, Alice Drablow, yang memiliki sebuah rumah mewah bernama Eel Marsh House. Crythin Gifford digambarkan sebagai sebuah desa yang sangat bertolak belakang dengan Stepford. Tidak ada penduduk desa yang memberikan sambutan hangat, bahkan palsu sekalipun, kepada Kipps, kecuali Sam Daily (Ciaran Hinds) yang istrinya memiliki gangguan kejiwaan. Pekerjaan Kipps dipersulit. Beberapa kali mereka memintanya untuk segera meninggalkan desa. Namun Kipps tetap keukeuh untuk tinggal selama pekerjaannya belum tuntas.

Keputusan yang tentunya harus dibayar mahal oleh Kipps. Dia terseret ke dalam serentetan kejadian paranormal yang menimpa desa tersebut. Kejadian yang tidak hanya mengundang rasa ingin tahu Kipps, tetapi juga penonton. Apa yang sebenarnya terjadi di desa tersebut? Bersamaan dengan munculnya rasa penasaran yang membuncah, perasaan tidak nyaman pun mulai menggelayuti. Intensitas kemunculan si hantu meningkat terhitung semenjak Kipps menginjakkan kaki di pulau terpencil milik Drablow. Watkins tetap berusaha menjaga agar si hantu tidak kelewat narsis. Akibatnya, adegan-adegan sunyi minim iringan musik yang melibatkan lorong-lorong panjang yang gelap atau taman yang beralih bentuk menjadi hutan membuat penonton menebak-nebak buah manggis dari arah mana kejutan berasal. Tebakan tak selalu benar, tentunya. Dan saya pun dibiarkan tersiksa. Efek yang dihasilkan tak sedahsyat Insidious, tapi tetap saja The Woman in Black membuat bulu kuduk berdiri dan jantung berdegup kencang.

Keberhasilan Watkins ini tentu tak lepas dari kepiawaian Tim-Maurice Jones yang sanggup mengabadikan momen-momen menyeramkan serta lanskap indah yang menyejukkan mata. Salut pula untuk tim production design. Yang sedikit mengecewakan, maka itu adalah Radcliffe dan ending-nya. Radcliffe memang bermain bagus, ada kemajuan ketimbang apa yang dia tampilkan di seri Harry Potter, namun tampangnya yang masih seperti anak sekolahan membuatnya terasa kurang pas ketika membawakan peran sebagai seorang single father. Bayang-bayang Harry Potter pun belum sepenuhnya lepas dari dirinya. Sementara ending-nya kurang memuaskan, tipikal film horor kebanyakan. Bisa jadi kekecewaan ini disebabkan oleh harapan akan durasi yang lebih panjang dengan teror yang semakin menggila. Rasanya seperti saya sedang berada di karaoke booth, menghayati lagu yang tengah mencapai klimaksnya, dan mendadak listrik mati. Ouch. Sekalipun cara penyelesaiannya membuat film ini terasa kurang greget, nuansa horor klasik yang mencekam tetap berhasil dihadirkan. Bukan yang terbaik di genrenya, tapi jelas salah satu yang terunggul dalam beberapa tahun terakhir.

Acceptable

April 4, 2012

REVIEW : WRATH OF THE TITANS


"You will learn someday that being half human, makes you stronger than a god." - Zeus

Dua tahun silam, Clash of the Titans sanggup menyedot $493 juta dari kantong penonton di seluruh dunia sekalipun mendapat kecaman keras dari berbagai kritikus film dunia. Nyatanya, tidak hanya para kritikus saja yang geram. Penonton mendadak kebakaran jenggot usai menyaksikan film ini dalam format 3D yang sangat palsu. Kemarahan dari sejumlah pihak membuat Sam Worthington, pemeran Perseus, meminta maaf kepada sebuah media internasional dan berjanji akan memperbaiki semua aspek yang mendapat kritikan keras di film berikutnya. Dengan kesuksesan prekuelnya, Warner Bros. bermurah hati menyuntikkan dana sebesar $150 juta untuk Wrath of the Titans. Untuk sekali ini, film langsung di-shoot menggunakan kamera 3D menyusul kekecewaan penonton terhadap hasil konversi yang luar biasa buruk di film sebelumnya. Agar kesalahan yang sama tidak terulang, maka kursi sutradara dan penulis naskah diberikan kepada orang lain, yakni Jonathan Liebesman serta Dan Mazeau dan David Leslie Johnson. Setelah perombakan disana sini, adakah kemajuan yang berarti terhadap Wrath of the Titans? Sayang sekali saya harus menjawab, tidak. Apabila Anda sakit hati dengan prekuelnya, maka jangan menggantungkan harapan terlalu tinggi untuk film ini.

Beberapa tahun setelah film pertama berakhir dimana Perseus berhasil menaklukkan Kraken, Perseus hidup tenang sebagai seorang nelayan bersama putra semata wayangnya, Helius (John Bell). Ketenangan keluarga kecil ini terusik saat ayah Perseus, Dewa Zeus (Liam Neeson), datang membawa kabar buruk. Di negeri para dewa, peperangan tetap berlangsung demi memerebutkan kekuasaan sementara kekuatan para dewa semakin melemah seiring dengan banyaknya manusia yang berpaling dari dewanya. Perseus enggan terlibat dengan persoalan pelik ini sehingga dia menolak permintaan Zeus yang mengharap bantuannya. Tidak lama setelah kunjungan ini, Zeus dikhianati oleh putranya sendiri, Ares (Edgar Ramirez) yang bekerja sama dengan saudara Zeus, Hades (Ralph Fiennes). Mereka berdua berniat menggulingkan tahta kekuasaan Zeus dan membangkitkan Kronos. Poseidon (Danny Huston) berharap Perseus berubah pikiran demi menyelamatkan umat manusia. Dia menyarankan Perseus untuk meminta bantuan kepada Putri Andromeda (Rosamund Pike), dan keturunan Poseidon yang menjadi seorang pencuri, Agenor (Toby Kebbell).

Introspeksi dan perbaikan yang dimaksud oleh Sam Worthington ternyata hanya diterapkan untuk efek khusus dan pemakaian 3D. Harus diakui, efek khusus Wrath of the Titans cukup mengagumkan, terlebih di paruh akhir. Dana yang sedemikian besar dimanfaatkan secara maksimal. 3D-nya pun tidak mengecewakan. Hanya saja, naskah yang dipenuhi dengan dialog yang menggelikan masih tetap tidak bisa diharapkan, sementara karakternya tidak diberi kesempatan untuk mengakrabkan diri dengan penonton. Liebesman beruntung masih memiliki Liam Neeson dan Ralph Fiennes yang bermain cukup baik sebagai Zeus dan Hades, karena Sam Worthington dan konco-konconya terbukti tidak bisa berakting. Dengan pengalaman akting lebih dari 10 tahun, Worthington masih terlihat layaknya pendatang baru yang kebingungan bagaimana seharusnya menampilkan karakter yang diembannya. Dan, inilah salah satu faktor kegagalan dari Wrath of the Titans. Setelah sebelumnya gagal menciptakan chemistry dengan Gemma Arterton, disini pun hubungan antara Perseus dengan Putri Andromeda tidak terasa sengatan listriknya. Sepertinya, dia membutuhkan seorang acting coach yang baik apabila ingin tetap bertahan di Hollywood. Pada akhirnya, meski telah hadir dalam formasi baru, pada kenyataannya Wrath of the Titans tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Hanya efek khusus yang ditawarkan jauh lebih mewah, dengan lebih banyak aksi dan ledakan sedangkan naskah dan para pemainnya masih tetap menjemukan seperti sebelumnya. Dengan peningkatan yang cuma seuprit seperti ini, akankah masih ada penonton yang tidak sabar untuk segera menyaksikan jilid ketiganya?

Acceptable

April 2, 2012

REVIEW : LOVE IS U

“Nggak, nggak, nggak kuat… Nggak, nggak, nggak kuat…” Lho, lho, itu kan kutipan lirik ‘Playboy’ tembang milik 7 Icons? Tenang, jangan keburu protes dulu. Sepenggal lirik ini bukan bermaksud untuk membandingkan siapa yang lebih superior antara 7 Icons dengan Cherrybelle, melainkan hanya ungkapan hati saya saat menyaksikan film debut dari Cherrybelle di bioskop, Love is U. Saking tidak kuatnya, saya sampai ingin menggigit kursi yang ada di depan saya. Sial sekali waktu itu saya memutuskan untuk tidak memiliki segelas minuman bersoda dan berondong jagung yang bisa saya telan bulat-bulat ketika jengkel. Dan lebih sial lagi, pulsa di handphone sedang menipis. Maka satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa bosan yang sudah mencapai ubun-ubun adalah memandangi personil Cherybelle satu persatu secara cermat. Strategi jitu? Nampaknya, apalagi setelah menyaksikan film ini saya mendadak jatuh cinta setengah mati dengan girlband ini, seolah-olah mereka adalah sekumpulan bidadari yang baru saja turun dari langit.

Menyaksikan Love is U membuat saya tidak tahan untuk segera menyandingkannya dengan Fantasi, Spice World, Purple Love hingga Baik-Baik Sayang yang memiliki tujuan yang senada, memanfaatkan sejumlah orang atau sebuah band yang tengah naik daun demi menumpuk pundi-pundi. Sekalipun empat film tersebut memiliki kualitas yang pas-pasan, jalinan ceritanya yang menghibur membuatnya menjadi semacam ‘guilty pleasure’ bagi sebagian orang, termasuk non-fans. Sayangnya, ini tidak terjadi pada Love is U. Naskah buatan Jamil Aurora kelewat datar, sementara Hanny R. Saputra tidak bisa berbuat banyak. Alhasil, dengan dialog yang membosankan, akting yang ‘begitu deh’, setting yang melulu disitu-situ saja dan nyaris tidak dihiasi dengan percikan konflik yang bikin gregetan, tentu Anda sudah bisa membayangkan betapa menyiksanya film ini. Jika memang sejak awal tujuan dibuatnya film ini adalah sebagai media promosi, sepertinya dikemas dalam bentuk film konser seperti Hannah Montana atau Glee adalah pilihan yang lebih baik. Memaksakannya muncul sebagai sebuah film layar lebar sementara hampir seluruh aspek belum siap hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Agak mengherankan sutradara sekelas Hanny R. Saputra bersedia menerima tawaran film dengan naskah yang bahkan lebih lemah dari FTV sekalipun ini. Para personil Cherybelle dikisahkan tengah dikarantina menyusul kegagalan mereka tampil secara kompak dalam sebuah pertunjukkan. Layaknya Akademi Fantasi Indosiar, kita pun disuguhi dengan tayangan seputar kehidupan sehari-hari para personil Cherybelle saat mereka berlatih koreografi, vokal, hingga bersantai bersama di tempat karantina. Agar tidak monoton, maka sejumlah bumbu penyedap berupa konflik antar personil, konflik dengan anggota keluarga dan konflik dengan para pelatih pun dicemplungkan. Apakah bumbu-bumbu ini membuat Love is U menjadi terasa lezat? Oh, sayang sekali tidak. Menyebalkan, ya. Serentetan konflik yang berpotensi memanaskan suasana, dimunculkan sepotong-sepotong dengan penyelesaian yang serba mudah. Penyelesaian konflik selalu ditandai dengan personil Cherybelle yang saling berpelukan, menangis bersama, lalu melantunkan tembang “Beautiful”, “Love is You”, dan “I’ll Be There For You” berulang-ulang hingga saat Anda keluar dari gedung bioskop, tanpa sadar Anda telah hafal dengan lirik tiga lagu tersebut. Saya tidak sedang menonton salah satu episode Teletubbies kan?

Pada akhirnya, kemunculan Love is U di layar lebar memang hanya untuk memuaskan dahaga para ‘Twibi’ dan ‘Twiboy’ yang seakan belum puas melihat idolanya bersliweran di layar kaca setiap hari. Love is U adalah bentuk pengkultusan terhadap Cherybelle. Hanya para fans yang akan jejeritan atau bertepuk tangan setelah film berakhir. Sementara mereka yang tidak terlalu mengenal girlband ini, atau malah membencinya, akan menepuk jidat mereka berulang-ulang dan mengacak-acak rambut, kecuali mereka tahu cara mengatasi kebosanan. Menyaksikan sembilan gadis dengan cara berbusana, cara berbicara, menangis, marah, hingga tertawa dengan cara yang nyaris serupa ditambah perilaku kekanak-kanakan yang dibuat-dibuat tentu bukan pemandangan yang menyenangkan, meski mereka luar biasa cantik. Jika ada yang bergembira ria, maka sekali lagi itu hanyalah fans Chibi, (dan anehnya) saya. Karena saya sudah luar biasa putus asa mencari kegembiraan di tengah gurun yang gersang. Ketika rasa haus dan lapar mulai menyerang, apapun terlihat lezat.

Troll

Mobile Edition
By Blogger Touch